Desain dan Persimpangan Kontemporer “OMNIPRESENT” oleh Dina

UncategorizedLeave a Comment on Desain dan Persimpangan Kontemporer “OMNIPRESENT” oleh Dina

Desain dan Persimpangan Kontemporer “OMNIPRESENT” oleh Dina

Desain dan Persimpangan Kontemporer “OMNIPRESENT” Karya Dina Prasetyawan

Oleh : Muhammad Rahman Athian*

Di era yang sudah sangat lebur tentang penggunaan media dan pengkotakan seni ini, nampaknya sudah sangat tidak relevan jika seni hanya dikotakkan hanya berupa karya lukis, patung dan instalasi seperti yang kita mahfumi belakangan. Berdalih dengan pengendalian rasa, seorang seniman menyatakan karya dengan sentuhan abstrak-ekspresif-lah karya yang mengandung rasa, Seolah bentuk pendekatan karya lain tidak memiliki “ruh” yang bisa diunggulkan dalam penciptaannya.

Beruntungnya tidak semua seniman Semarang picik dengan dalih dan argumen pengelolaan “rasa” yang harus tergambar jelas dalam ekspresivitas visual, dialah Dina. Seniman yang membuat karyanya dengan pendekatan komputerisasi, menggunakan pena tablet* yang secara garis masih bisa dirunut ekspresinya, malah justru menggunakan bitmap dikarenakan kini teknologi cetak sudah semakin maju. Meski demikian, Dina menyatakan “saya seniman, saya memasukkan ide dan gagasan saya dalam karya saya, hanya saja tidak konvensional seperti seniman Semarang lainnya” kalimat yang ujungnya tidak bisa saya tebak seperti karya-karyanya yang sangat dalam.

Sebelum masuk pada pucuk tombak kalimatnya, baiknya saya antarkan dulu pembaca untuk memahami siapa Dina ini. Dina memiliki nama lengkap Dina Prasyatawan, seniman yang lahir di Semarang ini memiliki pandangan khusus tentang karya seni. Cara berfikirnya yang holistik memperkaya karyanya. Gaya berkeseniannya tidak terfokus pada satu pendekatan, kadang menggunakan naturalistik, logotype, simbolis dan tentu kesemuanya diguyur menggunakan saus bernama “budaya urban” ala anak muda yang menggejala di Dunia. Jauh sebelum menampilkan pameran ini ia sempat berpameran dengan judul “Eyel” tahun 2021 lalu, yang darisanalah secara evaluatif idenya melahirkan pameran ini.

Dina berkesenian dengan cara membuat karya lalu menjualnya pada platform online. Secara spesifik Dina membuat karya dengan mempertimbangkan banyak hal, pikirannya yang berkelindan dan kesadarannya sebagai makhluk sosial membuatnya menyadari memposisikan dirinya sebagai seniman memberikan konsekuensi. Pertama sebagai seniman harus memamerkan karyanya, meski dalam konteks “pameran online” sudah ia lakukan, ia merasa bertanggungjawab untuk juga mengemas karyanya dalam bentuk pameran offline seperti sekarang. Kedua sebagai makhluk sosial yang survive melalui seni, ia mengetahui banyak seniman muda yang gugur (apalagi di Semarang dikenal sebagai kuburan seni) tugasnya adalah memberikan prespektif lain tentang berkesenian. Ketiga sebagai makhluk sadar pasar, dia melakukan penelitian selera pasar, namun tetap mengukuhkan eksistensi kesenimanannya dengan menguatkan ekspresi artistiknya tanpa intervensi.

Masalah Dina: Karya ini Design atau Art?

Sebenarnya saya tidak nyaman membahas ini, seolah saya harus menyesuaikan kondisi seni rupa yang sangat bebas ini dengan dogma lama, namun untuk menhindari karsa kuno yang nyinyir, tak ada salahnya kita sedikit membahasnya.

Tanpa bermaksud membandingkan, saya mengingat karya Takashi Murakami* ketika melihat karya Dina, yang lebih kaget lagi Dina tidak dekat dengan gaya berkesenian Murakami, artinya karyanya ini Genuine. Guna memahami karya Murakami yang kekanakan dan industrial kita membutuhkan pemahaman bentuk tentang gaya Anime Jepang, distorsi dan gubahannya yang khas. Namun berbeda dengan Dina, selain membutuhkan pemahaman dari banyak gaya urban juga dibutuhkan pemahaman sosio-antropologis (atau bahkan pendekatan lainnya) dari karya yang dia buat. Tidak ada bentuk abtraktif, tidak ada penyederhanaan bentuk yang terlalu sederhana (abstraksi) namun karyanya sangat layak digunakan sebagai referensi berfikir simbolis kata lainnya, menarik untuk diulik.

Bagaimana Warhol membuat tiruan Brillo Box yang dimaksudkan untuk menjelaskan tentang “kuasa kesepakatan” dalam seni rupa. Artinya, penggambaran bitmap dan gabungan dengan budaya urban tadi hanya berupa alat untuk menyampaikan nilai yang diusung dalam karyanya. Jadi apakah karya Dina karya desain? Jika dilihat dari pendekatannya, tegas saya katakan “ya ini desain” sama seperti Warhol menggunakan Grafis sebagai teknik berkarya, seperti Piet Mondrian yang berkarya menggunakan komposisi blok-nya. Dina sebagai seniman dari cara dia berkesenian, polanya sangat dekat dengan medan sosial seni rupa kontemporer yang selama ini kita kenal. Paul Rand pernah berkata bahwa desain sama seperti halnya seni rupa, desain bisa simpel, bisa estetis, bisa memiliki definisi yang bertumpuk, bahkan desain bukan hanya soal gaya, namun mengubah kenyataan ilmiah, menjadi manusiawi. Jadi untuk apa masih berkutat pada desain atau seni murni?

Marcia Muelder Earton manyatakan secara tajam bahwa dalam karya seni selalu terkandung eskpresi artistik, yang artinya adalah setiap seniman selalu membuat karya seni dengan mengekspresikan sesuatu, misalkan warna biru untuk mengekspresikan laut dsb. Sedangkan goresan ekspresif manual adalah guratan emosional seorang seniman. Pertanyaannya, bisakah simbol-simbol tanpa emosi seniman (misal vertor) dapat mengekspresikan sesuatu? Selama biru adalah laut, selama cokelat adalah kayu, jawabannya adalah “Bisa”.

Dina, Selera, dan Respon

Melalui obrolan yang intens, Dina mempercayai bahwa seniman adalah sebuah profesi. Artinya seniman memiliki tanggungjawab “memuaskan” kebutuhan estetis masyarakat. Masyarakat yang seperti apa? Tentu masyarakat online (dunia) sehingga Dina perlu mempelajari banyak kebudayaan dan tren dunia. David Hume, filsuf Inggris menyatakan bahwa penilai yang kompeten adalah orang berada dalam “lingkungan baik”, yang mempunyai dan melatih seleranya, menginterpretasi dan mengetahui. Fakta bahwa selera Dina dalam menginterpretasi simbolis itu mendalam, menjelaskan bahwa dia dalam “lingkungan baik” dan dapat diartikan dia dalam lingkungan yang kritis, menghargai lawan bicara, menerima kritik dan itu semua tidak banyak dijumpai di kondisi seni rupa Semarang, sangkaan saya dia mendapatkannya di pergaulan sosial maya-nya.

Dina melakukan proses berkarya dimulai dengan mencari ide yang dilakukan dengan merefleksi “apa saja hal-hal yang dipikirkan secara bawah sadar secara universal”. Kemudian memvisualkan apa yang dipikirkan orang secara bawah sadar oleh banyak orang, misal karya Waldo. Ini dimulai ketika covid merajalela dan banyak fenomena manusia yang harusnya sendiri bisa menjaring sosial melalui kreasi, dan banyak yang tiba-tiba merasa viral “wanna be”. Dina menggunakan karakter Waldo* untuk mencerminkan bahkan manusia yang sudah terkenal-pun masih belum mengenal dirinya, Dina membuat Waldo dengan pose meditasi untuk menjelaskan fenomena bahkan manusia lain lebih bisa menemukan dirinya, daripada dirinya sendiri.

Pada konteks ini, Dina meminta saya untuk memberikan pengantar pameran. Sehingga naskah ini bersifat sebagai pengantar pameran, bukan hasil kurasi yang saya dengan diskusi bersamanya secara simultan, sehingga mungkin prespektif saya tidak sepenuhnya mewakili cara berfikir seniman.

Membaca Omnipresence

Keberadaan manusia kini yang sudah memanfaatkan teknologi bisa bergerak kemanapun dan kapanpun menggunakan teknologi. Dina memanfaatkan platform digital untuk memudahkan pemasaran karyanya. Melalui analisanya yang meluas, ia menerapkan isu-isu yang lebih universal agar komunikatif dengan banyak prespektif. Sebenarnya, omnipresence adalah sebuah fenomena tentang dogma ketuhanan yang selalu hadir di manasaja. Pada banyak konteks agama, omnipresence digunakan untuk menggambarkan keberadaan universal dari suatu entitas ilahi atau kekuatan yang ada di semua tempat pada saat yang sama. Ini adalah konsep yang sering terkait dengan dewa atau entitas ilahi lainnya yang diyakini hadir di setiap sudut alam semesta secara bersamaan. Saya curiga, dalam judul omnipresence yang menjelaskan tentang kehadiran satu entitas di mana-mana, merupakan cara berfikir seniman untuk menjelaskan pendekatan karyanya yang bisa mewakili fenomena apapun dan dimanapun, ternyata salah.

Omnipresence dari prespektif Dina menjelaskan tentang korelasi ketuhanan yang selalu hadir dalam dirinya sehingga dapat berkarya. Kemudian ia ingin menjelaskan tentang konsep ini melalui respon omnipresence sebagai sebuah karya yang dibeli banyak orang lalu diterapkan di banyak tempat. Maka, melalui pameran ini omnipresence diartikan sebagai sosial eksperimen untuk menjelaskan berbagai persimpangan menjadi seorang seniman dengan media desain yang menyulitkan. Dalam kasus tertentu ia ingin menggambarkan betapa banyaknya desain sebagai media karya seninya diaplikasikan pada banyak benda, apakah publik tetap menghargai karyanya meski tertempel pada benda-benda yang ringan dan remeh-temeh, eksperimennya adalah “apakah publik akan menganggap barang tersebut adalah benda ekslusif, atau tidak menambah nilai apapun.

*) Dosen dan pengamat seni rupa di Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top